Legenda Desa Kebalandono
11/17/20254 min read


Tidak ada yang tau pasti tentang cerita sebenarnya asal usul desa Kebalandono, tapi ada sebuah kisah dan suatu peninggalan yang akhirnya di hubung – hubungkan dan dirangkai menjadi sebuah kisah tentang bermulanya nama Kebalandono.
Kisah tersebut berasal dari sebuah tanah kosong yang terletak di bagian selatan Desa Kebalandono. Dahulu kala diyakini di tempat tersebut hiduplah sebuah keluarga yang bahagia. Keluarga yang bermata pencaharian sebagai petani itu memiliki dua orang anak, yaitu seorang anak laki-laki bernama Joko Dono dan seorang lainnya adalah anak perempuan bernama Roro Andini. Mereka tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, yang dalam tradisi setempat seringkali disebut "Bucung" ( gubuk kecil ). Meskipun mereka menjalani hidup yang sederhana akan tetapi kebahagiaan dan kesejahteraan selalu menyelimuti keluarga tersebut. Kebutuhan sehari-hari pun terpenuhi dari hasil bercocok tanam.
Dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga ini termasuk sebagai salah satu keluarga yang cukup terpandang. Meskipun jarak antara satu rumah dan rumah lainnya agak berjauhan, tapi tidak menghilangkan rasa toleransi dalam bertetangga dan mereka saling menghormati satu sama lain. Hingga suatu ketika ada sebuah kejadian yang tak terduga, dimana saat itu tanpa tahu sebabnya tiba-tiba Joko Dono dan Roro Andini menemukan kedua orang tua mereka tergeletak tidak bernyawa lagi. Sejak saat itu, mereka berdua hidup mandiri sebagai kakak beradik dengan meneruskan mata pencaharian orang tuanya sebagai petani yang mengolah lahan warisan milik orang tua mereka. Singkatnya, mereka hidup rukun dan bahagia meskipun tanpa pengasuhan dari kedua orang tua hingga mereka menginjak usia remaja.
Suatu siang setelah mereka bekerja di sawah, cuaca yang sangat terik dan hembusan angin yang terasa panas membuat Joko Dono mengajak adiknya yang tak lain adalah Roro Andini untuk beristirahat dan berteduh dibawah pohon yang ada di tepian sungai samping rumah mereka. Melihat air yang sangat jernih dan terasa segar, sang kakak tergiur untuk berendam di sungai tersebut. Begitu melihat sang kakak sedang asyik berendam, Roro Andini pun seketika ikut masuk untuk merendam tubuhnya yang kepanasan itu di dalam sungai. Setelah puas berendam dan rasa lelah pun perlahan mulai menghilang, mereka keluar dari sungai dan segera pulang kerumah.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, tiba-tiba perut Roro Andini perlahan mulai membesar layaknya orang yang tengah hamil. Melihat keadaan tersebut sang kakak sangat marah, karena mengira adiknya telah berbuat hal yang tercela. Atas kecurigaannya tersebut Joko Dono mendesak adiknya untuk mengatakan siapa yang telah menghamilinya, akan tetapi Roro Andini tetap bersikukuh bahwa ia tidak pernah melakukan hal yang mempermalukan keluarga apalagi sampai hamil. Dengan pengakuan dari adiknya tersebut membuat Joko Dono sempat mengira bahwa adiknya sedang menderita penyakit, akan tetapi penyakit macam apa ia juga tidak mengetahui pasti karena sang adik tidak pernah mengeluh sakit atau tidak enak badan.
Ketika perut Roro Andini semakin hari semakin membesar, hal tersebut semakin tak bisa ditutupi. Karena merasa tidak bersalah dan tidak melakukan hal yang buruk maka Roro Andini dan Joko Dono pun beraktifitas seperti biasa, dimana kehidupan seorang petani yang sewajarnya adalah setiap hari pergi ke sawah dan ladang untuk mengolah lahan milik mereka. Akan tetapi berbeda dengan pandangan masyarakat dan para tetangga sekitar rumah, sehingga mereka mulai menyoroti kehidupan sehari-hari kakak beradik tersebut.
Kabar angin mulai menyebar, tanpa tahu itu fitnah atau fakta. Setiap kata yang terdengar adalah bisikan para tetangga yang mulai membicarakan Joko Dono dan Roro Andini, dimana masyarakat menduga bahwa seorang lelaki dan perempuan dewasa tinggal bersama tanpa pengasuhan orang tua sejak kecil, mungkinkah terjadi hal yang melewati batas moral manusia ataukah mungkin Joko Dono sebagai kakak yang memang tidak mampu mendidik adiknya sehingga Roro Andini berbuat hal memalukan dengan seseorang hingga terjadi kehamilan.
Berbagai spekulasi negatif berhamburan di masyarakat tentang keluarga kecil tersebut sehingga membuat kehidupan kakak beradik tersebut dikucilkan oleh para tetangga. Kata-kata negatif dari berbagai pihak seringkali menyudutkan Joko Dono hingga ia merasa sangat malu dan gagal menjaga adiknya. Tak tahan dengan gunjingan warga, akhirnya Joko Dono membuat pengumuman di hadapan banyak orang untuk membuktikan bahwa adiknya sama sekali tidak bersalah. Diapun menyatakan bahwa akan menunjukkan isi perut sang adik, jika memang di dalam perut Roro Andini terdapat janin maka Joko Dono siap untuk dihakimi dan dibunuh ramai-ramai oleh para tetangganya, namun jika adiknya ternyata tidak hamil, maka dia akan bunuh diri di hadapan banyak orang untuk menebus dosa telah membunuh adiknya yang tidak bersalah. Ia juga berpesan kepada para warga bahwa setelah kematiannya agar dimakamkan dalam satu liang lahat dengan sang adik tercinta.
Di tengah kerumunan warga yang pucat pasi mendengar ucapan Joko Dono yang telah membuat pengumuman, akhirnya Joko Dono benar-benar berniat menjalankan kata-kata yang telah ia ucapkan. Ia bergegas untuk menuju rumahnya dengan membawa sebilah keris tajam di tangannya, dan tak ada yang berhasil menghalangi langkah Joko Dono yang juga telah dirundung emosi. Saat melihat adiknya sedang duduk-duduk santai di depan rumah, Joko Dono segera menghampiri dan langsung menusuk perut Roro Andini, merobeknya lebar-lebar untuk mengeluarkan isi perut adiknya.
Dari kejauhan terdengar teriakan Roro Andini yang mengerang kesakitan. Para tetangga yang semula berusaha mengejar untuk menghalangi tindakan Joko Dono pun sudah terlambat, mereka menemukan Roro Andini yang telah terkapar bersimbah darah serta Joko Dono yang berdiri mematung meratapi kematian adiknya sembari masih memegang keris yang ia gunakan untuk menjagal adik tercintanya itu. Warga berkerumun mendekat, mereka mengamati dan menyaksikan sesuatu yang mengerikan keluar dari dalam perut Roro Andini bukanlah janin manusia, akan tetapi darah segar yang terus mengucur bercampur air lumpur dan mahluk hidup menyerupai cacing seukuran jari kelingking berjalan merambat meliuk-liuk. Sesaat setelah diperhatikan, ternyata itu adalah hewan sejenis lintah yang begitu banyak berhamburan keluar dari perut Roro Andini.
Tak kuasa menahan kesedihan dan penyesalan sesaat setelah kematian Roro Andini, maka pada saat itu juga Joko Dono pun membuktikan ucapannya dan bunuh diri di samping jasad Roro Andini menggunakan keris yang sedari tadi ia genggam erat di tangannya. Tragedi memilukan itu disaksikan oleh banyak warga sekitar, bahkan dari desa seberang pun berbondong-bondong untuk menyaksikan kejadian tersebut. Selepas itu masyarakat sekitar memenuhi permintaan terakhir dari Joko Dono yang sempat ia ucapkan sebelum meninggal, yaitu memakamkan mereka dalam satu liang lahat yang terletak di depan rumah bucung tempat tinggal mereka semasa hidup. Pada akhirnya lokasi tersebut dinamakan "Keleng" yang berarti "satu liang". Sedangkan desa tersebut saat ini dinamakan "Kebalandono" yang diperoleh dari kata "ubal-ubalan ndelok Dono" yang artinya "orang yang datang berbondong-bondong melihat (tragedi) Joko Dono".
Selain itu dari peristiwa tersebut, tempat yang dijadikan pemakaman kedua kakak beradik itu sampai saat ini tidak ditumbuhi rumput atau tanaman apapun, dan tanah tempat mereka tinggal lambat laun menjadi tanah yang dikeramatkan oleh para penduduk sekitar. Warga memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan adat contohnya sedekah bumi atau dalam budaya lokal sering disebut "nyadran". Setelah puluhan tahun berlalu, warga sempat memanfaatkan lokasi tesebut sebagai pasar, akan tetapi karena lokasi yang dinilai kurang strategis maka pasar berpindah lokasi.


